
Bagaimana hukum melaksanakan Aqiqah setelah kita dewasa? apakah diperbolehkan ? berikut penjelasan dari Ust Siddiq Al Jawi
Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Ada
dua pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa (baligh). Pertama,
pendapat beberapa tabi’in, yaitu ‘Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin,
juga pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi’i), dan
satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka
mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan (mustahab)
mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadits riwayat Anas ra.
bahwa Nabi saw. mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai
nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960;
Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no
883).
Kedua,
pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang
waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa.
Alasannya,
aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi, si anak tidak perlu
mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadits Anas ra. yang
menjelaskan Nabi saw. mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak
layak menjadi dalil. (Hisamuddin ‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59;
Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-‘Aqiqah fi
Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-‘Aqiqah wa
At-Tadzkiyyah, hlm. 44).
Dari
penjelasan di atas, nampak sumber perbedaan pendapat yang utama adalah
perbedaan penilaian terhadap hadits Anas ra. Sebagian ulama melemahkan hadits
tersebut, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari, 12/12), Imam Ibnu
Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I’tidal, 2/500), Imam
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi
(Al-Majmu’, 8/432). Imam Nawawi berkata,”Hadits ini hadits batil,” karena
menurut beliau di antara periwayat haditsnya terdapat Abdullah bin Muharrir
yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu’, 8/432). Namun, Nashiruddin Al-Albani
telah meneliti ulang hadits tersebut dan menilainya sebagai hadits shahih.
(As-Silsilah al-Shahihah, no 2726).
Menurut
Al-Albani, hadits Anas ra. ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan).
Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas ra. Jalur inilah
yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin
Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari
Anas ra. Jalur kedua ini oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik
(isnaduhu hasan), sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami dalam Majma’
Az-Zawa`id (4/59).
Terkait
penilaian sanad hadits, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu
sanad dari suatu hadits, tidak berarti hadits itu lemah secara mutlak. Sebab
bisa jadi hadits itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadits menyatakan
hadits itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin
An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).
Berdasarkan
ini, kami cenderung pada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya
belum diaqiqahi, disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Sebab
dalil yang mendasarinya (hadits Anas ra.), merupakan hadits shahih, mengingat
ada jalur periwayatan lain yang shahih. Wallahu a’lam
Post a Comment