Kontradiksi BPIP Dalam Polemik Mudik vs Pulang Kampung
oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik)
Polemik mudik vs pulang kampung menjadi viral. Hal tersebut menyusul adanya
larangan mudik mulai 24 April 2020. Tidak ketinggalan Kepala BPIP, Yudian
Wahyudi ikut nimbrung berkomentar.
Dalam kegiatan bertajuk Jum'at bersama BPIP (24/4/2020), Yudian menjelaskan
makna puasa. Al imsaku yakni menahan diri menjadi sebuah hikmah puasa guna
membangun peradaban. Menahan diri dari perbuatan merusak seperti menjauhi
korupsi.
Lebih jauh, Yudian menjelaskan. Tradisi mudik lebaran itu berdampak besar
pada sektor ekonomi dari kota ke desa. Hanya saja di saat wabah seperti
sekaranh, mudik justru bukan sikap menahan diri. Membangun peradaban
dilakukan dengan tidak mudik. Alasannya menyelamatkan jiwa harus
didahulukan.
Mencermati penjelasan Kepala BPIP tersebut, terdapat beberapa poin berikut
ini.
_Pertama_, berkaitan dengan makna puasa adalah al - imsaku, menahan diri.
Sesungguhnya di Bulan Ramadhan, Syetan dan tipu dayanya dibelenggu. Artinya
satu - satunya faktor hawa nafsu yang harus bisa dikendalikan manusia.
Dikendalikan agar patuh pada aturan Sang Pencipta, Allah SWT. Dengan
demikian tujuan ketaqwaan sebagai buah berpuasa, bisa diwujudkan.
Adapun ketaqwaan tersebut mencakup individual dan komunal. Ketaqwaan
individual tercermin dari adab dan akhlaq yang baik. Di antaranya menjauhi
perbuatan curang, dalam bentuk tidak korupsi.
Hanya saja, bila targetnya adalah sikap al - imsaku tersebut untuk
membangun peradaban, tidak cukup mengandalkan ketaqwaan individual. Yang
harus dibangun juga adalah ketaqwaan komunal. Perangkat hukum dan sistem
kehidupan merupakan pilar utama dalam hal ini. Jadi selama sekulerisme
masih menjadi asas hukum dan sistem kehidupan yang berlaku, tentunya mesin
yang membuka peluang terjadinya pelanggaran masih beroperasi.
Halal haram bukan menjadi asas kehidupan. Hasilnya akan sulit memberantas
tindakan korupsi hingga tuntas. Termasuk terhadap pelanggaran - pelanggaran
lainnya.
_Kedua_, berkaitan dengan kaidah mencegah kerusakan didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan.
Mudik termasuk di dalamnya pulang kampung saat wabah, dipandang sebagai
sebuah kerusakan. Oleh karenanya harus diutamakan mencegah kerusakan.
Pertanyaannya, apakah melarang mudik itu tidak menimbulkan kerusakan?
Dari sekian jumlah angkatan kerja, 56 persen berada di sektor informal.
Bekerja serabutan dengan gaji harian, sebagai contohnya. Diprediksikan
bahwa akan terjadi kenaikan jumlah pengangguran dampak wabah ini, hingga
mencapai sekitar 8,5 juta orang. Bukankah dengan larangan mudik ini justru
mereka harus tinggal di kota dalam kondisi menganggur, apalagi adanya
pemberlakuan PSBB. Tentu keadaan demikian adalah kerusakan juga. Lantas,
apakah mencegah kerusakan dengan cara menimbulkan kerusakan baru?
Yang perlu dipahami, perekonomian Indonesia yang merosot bukanlah semata
karena dampak wabah Covid-19. Justru wabah telah mengungkap kondisi ekonomi
nasional yang stagnan dan cenderung terus merosot. Bukankah utang luar
negeri yang menumpuk jauh sebelum wabah terjadi? Bahkan lagi - lagi, dana
lawan Corona sebesar 405,1 trilyun rupiah disinyalir juga bersumber dari
utang luar negeri. Tanggal 23 Maret 2020, Bank Dunia menyetujui pinjaman
dana 300 juta US dollar guna mendukung pemerintah Indonesia lawan Corona.
Setelah itu, di tanggal 25 Maret 2020, IMF berkomitmen membantu negara
anggotanya, Terdapat dana sebesar 1 trilyun US dollar. Menkeu RI berharap
bisa mendapatkan alokasi pendanaan tersebut.
Sepertinya sumber pendanaan yang lain seperti SAL (Sisa Anggaran Lebih)
senilai 160 trilyun, termasuk rencana mengambil dana abadi pendidikan,
bukan menjadi sumber utama. Apalagi ada kritik, terutama penggunaan dana
abadi pendidikan. Utang luar negeri masih menjadi favorit. Mestinya
pemerintah tidak perlu menambah utang bila proses pembangunan ibukota baru
dihentikan.
Demikianlah utang luar negeri tersebut hanya akan jadi beban bagi negara
khususnya rakyat. Justru ini adalah kerusakan besar yang harus dihindari.
Ekonomi neoliberal hanya membangkrutkan negara dan semakin menjerumuskan
negara ke dalam penjajahan melalui jebakan utang.
_Ketiga_, berkaitan dengan apa yang mestinya dilakukan. BPIP itu badan yang
bertanggung jawab dalam pembinaan jiwa nasionalisme dan membumikan nilai -
nilai Pancasila. Tidak elok rasanya ikut berpolemik dalam pelarangan mudik.
Seharusnya BPIP mampu merumuskan solusi menanggulangi wabah Covid-19 dengan
baik berdasarkan nilai - nilai Pancasila. Jangan lagi terkurung oleh
berbagai kontradiksi. BPIP bisa mendorong agar tanggung jawab pemerintah
bisa dipenuhi sesuai amanat UU Kekarantinaan kesehatan. Dengan begitu,
mengharuskan rakyat untuk tetap di rumah bisa ketemu relevansinya.
Ataukah BPIP bukan lagi berfungsi sebagai pihak yang mengawal pelaksanaan
nilai Pancasila, baik oleh rakyat lebih - lebih oleh pemerintah. Jika
pemerintah melakukan pelanggaran, tentunya BPIP yang akan membinanya, Jika
demikian, betul - betul rakyat tidak lagi mengetahui kemana mereka akan
mengadu, kecuali kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT srgera mengangkat wabah
ini dan melepaskan mereka dari berbagai penderitaan oleh sistem Sekulerisme
dengan terbitnya sistem Islam yang adil.