oleh Ainul Mizan (Pemerhati Sosial Politik)
Pandemi Covid-19 telah terjadi di lebih dari 170 negara di dunia. Covid-19
ini telah memakan korban dalam jumlah yang besar. Di Indonesia per 30
Maret 2020, yang positif Covid-19 ada 1.414 kasus dan 122 orang yang
meninggal.
Pandemi Covid-19 ini tentunya tidak bisa dianggap remeh. Termasuk tidak
boleh panik berlebihan.
Sebagai contoh, komentar Menkes Terawan yang menyatakan bahwa berkat
kekuatan doa, Indonesia bebas corona (www.cnbcindonesia.com, 17 Februari
2020). Tidak salah dengan doa, hanya saja berakibat kurang antisipasi
terhadap Covid-19 tentunya termasuk menggampangkan.
Begitu pula, berita kematian Menkeu Jerman yang bunuh diri. Disinyalir
karena sangat panik terhadap Covid-19. Langkah seperti ini justeru
kontraproduktif dalam menyikapi pandemi Covid-19.
Yang patut jadi bahan perenungan bersama, lantas mengapa Indonesia masih
juga terpapar pandemi Covid-19? Sementara doa di satu sisi sudah
dipanjatkan. Pastinya ada yang salah dengan negeri ini sehingga doa tidak
dikabulkan Allah SWT.
Covid-19 telah mengkonfirmasi mengenai kepemimpinan nasional di negeri ini.
Pemerintah pusat tidak mengambil langkah lockdown.
Padahal IDI meminta agar presiden melakukan langkah lockdown (gridhealth,
25 Maret 2020). Adapun tanggapannya bahwa setiap negara berbeda - beda
kebijakannya.
Sesungguhnya dalam perkara nyawa rakyat tidak bisa dinegosiasi. Artinya
berapapun besarnya biaya yang ditanggung demi melindungi rakyat.
Anomali yang muncul, justru proyek ibukota baru terus berjalan. Pembangunan
tahap awal ibukota baru telah menggunakan APBN sebesar Rp 500 milyar.
Padahal kondisi pandemi Covid-19 ini membutuhkan kehadiran negara dalam
melindungi rakyatnya.
Perenungan kita agak ke belakang lagi. Kabinet ke-2 Presiden Jokowi dalam
gebrakan - gebrakan programnya adalah memberantas radikalisme. Hingga Menag
Fahrurrozi pun disebut sebagai Menteri anti radikalisme. Dari urusan cadar
hingga revisi buku - buku pelajaran Agama Islam dari muatan Khilafah, yang
dipandang sebagai paham radikal.
Begitu pula, Menkopolhukam Mahfudz MD yang berstatemen tidak wajib
mengikuti sistem pemerintahan Nabi Saw. Pendek kata, Khilafah itu seolah
tertolak di Indonesia.
Sekarang keadaan telah berubah. Covid-19 telah membuat kepongahan tersebut
jadi tidak berdaya. Masihkah bisa berteriak radikalisme? Sebelumnya
pengajian dibubarkan dengan alasan radikalisme. Sekarang kerumunan massa
termasuk pengajian dibubarkan dengan alasan Covid-19.
Begitu pula dalam perekonomian. Ekonomi yang berbasis sektor non riil telah
memukul nilai kurs rupiah dan ekonomi nasional. 300 trilyun digelontorkan
guna menyelamatkan rupiah yang hanya mentok di angka Rp 15.700 per US
dollar. Ditambah pula beban utang negara berbasis ribawi. Hasilnya tidak
tersedianya dana yang mencukupi untuk mengambil kebijakan lockdown. Rakyat
pun diminta untuk melakukan karantina mandiri. Tagar di rumah aja menjadi
trending. Itu pun lagi - lagi terganjal kebutuhan pokok yang baru bisa
dipenuhi dengan bekerja. Jadinya tidak mengherankan kasus positif Covid-19
semakin hari cenderung meningkat.
Jangankan Indonesia, negara adidaya seperti AS saja tidak berdaya
menghadapi pandemi Covid-19. Bahkan kasus positif di AS terbesar dunia
yakni per 30 Maret 2020 ada 123 ribu, dengan 2.229 orang meninggal.
AS yang selama ini dengan garang menyatakan War on Terorisme yang sejatinya
memerangi Islam. Mengajak dunia ikut bersamanya dalam perang global
tersebut. Sekarang diam oleh Covid-19.
Semestinya hal demikian menyadarkan kita sebagai bangsa yang mayoritasnya
muslim, agar melakukan introspeksi diri. Bahwa kehidupan sekuler selama ini
menjadikan para petinggi negara lupa posisinya sebagai hamba Allah yang
lemah. Seruan - seruan ketaqwaan harusnya terdengar, di samping seruan
social maupun physical distancing.
Pandemi Covid-19 harusnya menyadarkan kaum muslimin. Sekulerisme tidak
berdaya menghadapi Covid-19. Berdoa kepada Alloh SWT tentunya harus
dibarengi dengan taubat nashuha (taubat yang sesungguhnya). Membuang semua
bentuk kesombongan manusia yang menyebabkannya menjauh dari Syariat Islam.
Pandemi Covid-19 ini menjadi teguran dari Allah Swt agar bangsa ini
meninggalkan sekulerisme dan kembali kepada penerapan Islam secara
paripurna.
Post a Comment