Pada rapat paripurna 12 Mei 2020, DPR telah mengesahkan perubahan UU No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi UU
Minerba. DPR menyatakan bahwa RUU Minerba ini sudah masuk prolegnas 2020.
Hanya saja memang dipandang kurang pas timingnya. Di tengah pandemi,
pengesahan UU Minerba ini terkesan dipercepat. Hanya selang 3 bulan dari
pembahasan RUU Minerba di Februari 2020, langsung disahkan.
Apalagi di dalamnya ada beberapa pasal yang menuai kritik. Misalnya di
pasal 169 A. Di ayat 1, KK (kontrak kerja) dan PKP2B (Perjanjian Kontrak
Perpanjangan Pertambangan Batubara) akan diberikan jaminan perpanjangan
IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus) dengan ketentuan tertentu. Jadi
menurut pasal 169, pemegang KK dan PKP2B yang belum mendapatkan
perpanjangan berhak memperoleh 2 kali perpanjangan dalam bentuk IUPK,
masing - masing paling lama 10 tahun.
Sementara itu di sisi lain, korporasi pertambangan batu bara di Indonesia
dikuasai elite kaya raya dan sebagiannya memiliki jabatan pemerintahan. Di
samping itu, masa berlaku PKP2B beberapa korporasi tersebut akan segera
habis. Jadi, dikebutnya pengesahan UU Minerba disinyalir berkaitan dengan
hal tersebut.
Adapun 7 korporasi/perusahaan tambang yang sudah habis masa kontraknya dan
tahunnya, yaitu PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia
(2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy Tbk (2022), PT Multi
Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal
(2025). Mereka semua adalah perusahaan swasta. Sudah puluhan tahun lamanya
mereka menguasai pertambangan batubara di Indonesia.
Sebagai contoh Arutmin, yang akan habis masa kontraknya di Nopember 2020,
mengantongi ijin di lahan seluas 70.154 hektar. Lahan tersebut meliputi
Tanah Bumbu, Tanah Laut, dan Kota Baru Kalsel. Tidak mengherankan bila UU
Minerba ini adalah pembelaan pemerintah kepada korporasi tambang.
Bahkan menurut Manajer Kampanye Jatam Nasional, Melky Nahar, disinyalir ada
pengusaha tambang di balik Pilpres 2019. Sekitar 80 persen biaya kampanye
Jokowi-Amin berasal dari perusahaan tambang. Begitu pula, pasangan Prabowo
Sandi. Sandi sendiri harus menjual sahamnya untuk menalangi biaya kampanye
yang mahal.
Ambil contoh di kubu Jokowi Amin. Ada Luhut yang bergerak di sektor tambang
melalui PT Toba Bara Sejahtera, PT Kutai Energi, dan PT Admitra Nusantara.
Surya Paloh pemilik PT Emas Mineral Murni, dan PT Media Mining Resource.
Ada pula Ketua Hanura (Osman Sapta Odang), pemilik perusahaan batubara, PT
Orbit Total Prestasi. Sedangkan Prabowo sendiri adalah pemilik Nusantara
Energy Resource dengan 17 anak perusahan yang bekerja di bidang kehutanan,
sawit, tambang batubara dan kertas. Demikianlah lagi - lagi tatkala terjadi
perseteruan mereka di Pilpres 2019, hanya menjadikan rakyat sebagai korban.
Ibaratnya, untuk apa Pilpres 2020, jika sepiring berdua.
UU Minerba ini memberikan potensi terjadinya kerusakan lingkungan yang
besar dari sifat eksploitatif perusahaan dan diskriminasi kepada masyarakat
lingkar tambang. Di pasal 42, tentang penguasaan lahan. Dijelaskan misalnya
di wilayah Sungai Purba, terdapat kandungan tanah yang bisa ditambang. Ini
tentunya memberi peluang eksploratif perusahaan, bukan pada rakyat.
Alasannya, rakyat khususnya di daerah tambang tidak bisa menolak.
Dengan begitu, perusahaan akan masif melakukan penambangan. Akibatnya akan
banyak lubang bekas tambang. Yang tercatat ada 3.033 bekas lubang galian
yang belum direklamasi.
*Menyelesaikan Persoalan Tambang*
Pertama kali yang mesti dipahami bahwa komoditas Minerba (Mineral dan
Batubara) merupakan kekayaan alam bangsa. Sedangkan kekayaan alam itu
termasuk kepemilikan umum. Artinya, pengelolaan tambang semuanya dilakukan
negara untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat.
Negara, dalam hal ini pemerintah hanya sebagai pengelola, bukan pemilik.
Tentunya dalam teknis eksplorasinya bisa melibatkan rakyat khususnya di
lingkar tambang.
Kalaupun dalam eksplorasi hingga eksploitasinya, memerlukan keikutsertaan
perusahaan swasta, diposisikan sebagai akad kontrak dalam ijarah atau
perjanjian kerja. Negara lewat BUMN dan BUMD akan menyewa peralatan tambang
dan tenaga ahli perusahaan swasta dengan kompensasi upah tertentu sesuai
kesepakatan. Di samping itu, negara harus menpunyai pola pikir alih
teknologi dan skill selama dalam akad tersebut. Jadi tidak berhak negara
memprivatisasi sektor minerba atas nama investasi.
Dan yang lebih penting lagi adalah tidak ada balas budi negara kepada para
investor perusahaan swasta. Begitu juga, tidak ada para pejabat
pemerintahan yang memiliki bisnis yang bergerak di komoditas milik umum
tersebut. Hanya BUMN dan BUMD pertambangan yang berhak mengeksplorasi dan
mengeksploitasi tambang. Dengan demikian, pembahasan sebuah UU bisa
berjalan dengan baik berdasarkan asas pelayanan negara kepada rakyatnya.
Selain itu, kegiatan pertambangan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan. Prinsipnya adalah firman Allah SWT yang artinya: Janganlah
kalian membuat kerusakan di muka bumi, setelah Allah memperbaikinya.
Walhasil aktifitas pertambangan bisa memberikan dampak kesejahteraan kepada
seluruh rakyat. Tidak seperti Kapitalisme yang menjadikan kekayaan berputar
di kalangan orang - orang kaya saja.
Post a Comment